Gunung merapi merupakan salah satu gunung berapi yang aktif di Indonesia. Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter dari permukaan laut. Secara administratif terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten. Status kegiatan Gunung Merapi ditingkatkan dari Normal menjadi Waspada pada tanggal 20 September 2010, ditingkatkan menjadi Siaga pada 21 Oktober 2010 dan menjadi Awas, terhitung sejak 25 Oktober 2010. Mencapai puncaknya pada tanggal 26 Oktober 2010 ketika Merapi meletus. Daerah-daerah sekitar berubah menjadi kampung lumpur akibat semburan material gunung berapi berupa lahar, pasir, debu dan gas belerang. Letusan Merapi berakibat semburan awan panas, yang merupakan kumpulan material berupa debu yang bersuhu hingga 7000celcius dengan kecepatan laju mencapai 100km/jam. Aliran Piroklastik (awan panas) ini pun menelan korban jiwa yang tidak sempat menyelamatkan diri, kebanyakan bermukim tidak jauh dari kaki Merapi. Hujan debu tidak hanya mengguyur kawasan lereng-lereng Merapi, debupun mencapai kawasan Kaliurang, Sleman hingga daerah Jawa Tengah dan sekitarnya. Sekitar tiga kecamatan di lereng Merapi di kawasan kabupaten Sleman harus dikosongkan. Beberapa daerah menjadi lokasi pengungsian warga seperti beberapa kampus Jogja, Muntilan dan Magelang kota.
Material Letusan Merapi Mengalir ke Kaliurang
Gunung Merapi telah bererupsi dengan sifat erupsi elusif (aliran) dan bukan eksplosif. Aliran material yang berasal dari gunung berapi itu merupakan bukti letusan. Material letusan mengalir ke selatan Merapi. Karena berdasarkan pengalaman letusan Merapi sebelumnya menyamping dan tidak menyembur ke atas. Kepala Bidang Gempa Bumi dan Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMG) I Gede Swantika kepada detik.com, Selasa (26/10/2010) pukul 19.30 WIB. Gede mengatakan, semburan material Merapi diperkirakan mengarah ke selatan, tepatnya ke arah Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Bukti letusan ditandai dengan menggumpalnya awan panas atau wedhus gembel yang membawa material pasir panas
Fenomena letusan gunung Merapi sudah menjadi tidak asing. Merapi merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia. Bila terjadi letusan, warga di sekitar lereng gunung dengan radius titik rawan tertentu dievakuasi ke tempat aman. Namun, warga biasanya enggan untuk dievakuasi dengan alasan hidup mati mereka di Merapi, terlebih bagi para lanjut usia yang telah merasa “sejiwa” dengan Merapi. Warga yang hidup di sekitar Merapi memang sudah memahami bahwa Merapi bisa kapan saja bergejolak namun ada saja alasan untuk tidak beranjak. Merapi mengalami siklus erupsi dalam rentang tahun tertentu, sempat tercatat pada tahun 1930 menyebabkan hancurnya kubah lava dan munculnya awan panas hingga radius 13 kilometer. Belum lagi letusan yang terjadi dalam kurun waktu 1872, 1870, 1984, 1992 dan 1994. Tercatat pada tahun 1872 menyebabkan muntahan material mencapai volume 100juta meter kubik.
Proses evakuasi pada saat terjadinya bencana letusan Merapi, dilakukan dengan menempatkan korban ke tempat yang aman dari titik rawan bencana. Tempat pengungsian tidak hanya terdiri dari barak-barak darurat sementara, namun adapula rumah-rumah penduduk yang sukarela menjadikan rumahnya sebagai tempat pengungsian. Posko-posko penanganan bencana pun didirikan, untuk penggalangan bantuan logistik dari sukarelawan maupun instansi-instansi lain. Tak dipungkiri memang, minimnya fasilitas dan sarana pascabencana. Mengingat jumlah pengungsi berbanding terbalik dengan jumlah fasilitas yang masih utuh. Kamar mandi, dapur dan tempat untuk tidur darurat menjadi hal yang sangat penting agar kebutuhan tiap pengungsi terpenuhi. Donasi dari tiap instansi pun mulai berdatangan baik itu dalam bentuk uang, beras dan makanan serta pakaian bekas. Bantuan bahan pangan terdiri dari bahan makanan instan maupun siap saji lainnya yang dikemas dalam plastik ataupun kalengan. Pengelolaan bantuan hingga layak dikonsumsi dilakukan secara gotong royong oleh pengungsi terutama kaum wanita. Kaum pria difokuskan untuk mencari bantuan logistik dan pembangunan sarana MCK darurat. Minimnya fasilitas yang ada memungkinkan para pengungsi tidak memperhatikan aspek-aspek sanitasi untuk kesehatan mereka sendiri. Pada umumnya untuk persoalan bencana, aspek sanitasi menjadi poin kesekian bagi pengungsi, mengingat pemenuhan kebutuhan pun sudah sangat susah diperoleh karena hanya mengharapkan bantuan logistik. Apalagi jika pengelolaan makanan hingga layak dikonsumsi oleh banyak orang, faktor higienitas mungkin tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Belum lagi beberapa MCK yang tidak jelas aliran pembuangannya serta tempat-tempat pembuangan sampah rumah tangga hasil pengelolaan makanan. Jika diperhatikan, faktor sanitasi yang buruk jugalah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya penyakit-penyakit bagi para pengungsi. Sanitasi yang buruk dan tingkat kehigienisan makanan yang tidak diperhatikan. Belum lagi jumlah pengungsi yang begitu padat menempati satu areal tertentu yang saling berdesak-desakan memungkinkan penularan macam-macam penyakit yang begitu cepat. Perlu diperhitungkan juga persoalan plastik sebagai kemasan makanan maupun sebagai wadah tempat makanan ataupun barang-barang lainnya. Banyaknya bantuan logistik berkemasan plastik bisa saja menyebabkan lingkungan penuh dengan sampah yang sulit diuraikan. Begitu banyak poin penting yang semestinya diperhatikan ketika pascabencana. Bukan hanya persoalan relokasi untuk tempat tinggal pengungsi selanjutnya, namun aspek-aspek sanitasi untuk peningkatan mutu kehidupan masyarakat pengungsi. Faktor minimnya sarana dan prasarana memang mempengaruhi tingkatan pemenuhan kebutuhan pengungsi, namun tidak menjadi alasan untuk tidak memperhatikan aspek-aspek sanitasi kesehatan masyarakat.
Tidak ada seorangpun yang menginginkan bencana ini terjadi, sanitasi kesehatan yang buruk bukan pillihan, namun satu-satunya hal yang diberikan sehingga pengungsi tidak dapat memilih hal lain selain hal itu. Masing-masing manusia punya hak untuk hidup lebih baik, namun mengapa tidak ada yang bisa memberikan beberapa pilihan yang lebih baik? Bukankah donasi dari berbagai kalangan sungguh banyak?
Para pengungsi tidak hanya mereka yang berasal dari golongan masyarakat ground level, tetapi juga masyarakat menengah ke atas. Suatu hal yang ironis terjadi antara dua golongan masyarakat tersebut. Bagi masyarakat menengah ke atas, mereka lebih memilih untuk “mengungsi” ke hotel-hotel dan penginapan, di mana sanitasi dan kesehatan makanannya tak perlu dipertanyakan lagi. Sedangkan para pengungsi dari masyarakat golongan ground level seolah tak diberi pilihan untuk makanan dan minumannya, dalam hal ini higienitasnya. Penyediaan makanan yang ala kadarnya, bahkan terkesan seadanya tanpa memperhatikan kesehatan dan higienitas makanan tersebut. Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan aspek-aspek sanitasi kesehatan dan kehigienisan makanan pascabencana. Banyaknya donasi dari berbagai kalangan memungkinkan pengungsi memiliki pilihan yang lebih baik untuk kehidupan mereka. Bukankah tiap-tiap manusia memiliki hak untuk hidup yang lebih baik? Disinilah peranan pemerintah sangat diperlukan. Misalnya Jika bencana hanya dijadikan alasan untuk meminimkan bahkan meniadakan untuk pilihan yang lebih baik, buat apa hati nurani ciptaanNya ada di diri kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar