Rabu, 24 November 2010

Perempuan Minahasa di Era Globalisasi

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Setiap budaya di Indonesia memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing sehingga memberikan pengaruh yang berbeda bagi perilku masing-masing orang. Seiring perkembangan zaman, budaya dari masing-masing daerah mulai mengikuti tren-tren sekarang, khususnya Perkembangan budaya kaum perempuan Minahasa dalam globalisasi.

1.      Minahasa Dalam Konteks Global

Syair lagu daerah:

Oh Minahasa Kinatouanku
Sela rimae unateku
Meilek ung kewangunan nu

Ngaran nu kendis wia Nusantara
Nuun Cingkeh Pala wo Kopra
Mateles malolowa

Ranu Tondano depo wo numamu
Terbur Lokon Soputan mawes ung wangunu
Ohh.. Kinatouanku Minahasa
Sawisa mendo endo lea‚âtos
Palea‚âtosan nematuari

Arti lagu:

Oh Minahasa tempat lahirku
sungguh bangga rasa hatiku
memandang keidahanmu

Namamu masyur d Nusantara
Karna Cengkih, Pala dan Kopra
Agungkan pasaran dunia

Danau Tondano dan Sawah ladangmu
Asap lokon dan soputan menghias alammu
Oh tempat lahirku Minahasa,
aku rindu setiap masa
aman damai dan sentosa


Lagu ini cukup popular di kalangan Tou Minahasa. Di acara-acara kebudayaan Minahasa, lagu ini pasti akan didendangkan. Bukan hanya karena popularitasnya, melainkan terlebih lagu ini bagi Tou Minahasa yang mendengarnya pasti akan mengingatkan dia terhadap Tanahnya, Minahasa. Masing-masing suku di Minahasa, seperti Tombulu, Tonsea, Toutemboan, Toulour, dan lain-lain memilik syair sendiri yang disesuaikan dengan bahasa masing-masing.
"Oh, Minahasa", Kita sungguh terpesona dengan tanah ini. Kita lahir di sini, terikat dengan keindahan tanah ini. Banyak yang bisa bersekolah sampai menggapai jabatan tinggi karena tanah ini telah memberi hasil. Harga cengkih, kopra memang sering dikeluhkan karena permainan pasar. Tapi, menyebut dua komoditi ini dalam rangkaian keterpesonaan sebenarnya mengungkap bahwa Tanah ini memang kaya. Pala, memang tinggal dalam lagu. Sekarang telah bertambah vanili. Beberapa masih mempertahankan kopi di lahannya. Padi, pohon enau, dan kekayaan hutan serta lautnya, juga telah memberi hidup bagi Tou Minahasa. Tanah ini memang subur. Gunung-gunung yang menjulang tinggi ke langit seperti Lokon, Soputan, Mahawu, dan Kalabat bukan hanya telah memberi keindahan bagi negeri ini, melainkan juga telah ikut menyuburkan tanah dengan vulkanik yang dihasilkannya. Asap Lokon dan soputan menghiasi alammu, secara simbolik menggambarkan keindahan dan kesuburan tanah ini.
Tou Minahasa, siapa dia, siapa mereka? Tentu pendapat umum akan berkata, Tou Minahasa adalah mereka-mereka yang merupakan keturunan Lumimuut-Toar sebagai nenek moyang orang Minahasa. Di Watu Pinawetengan, para keturunannya dulu telah berbicara dan bersepakat untuk membagi tanah ini sebagai tempat tinggal. Tapi, zaman terus menjalankan kodratnya. Peradaban ini tak pernah berhenti di zaman lampau itu. Sehingga, Tou Minahasa untuk sedikit orang tak lagi memahaminya hanya dalam kaitan dengan ikatan geneologis saja. Tou Minahasa, kini dipahami siapa saja dia atau siapapun mereka yang telah terikat secara historis, politik, sosial, ekonomi dan komitmen dengan Tanah ini. Dia atau mereka itu adalah Tou Minahasa. Inilah interpretasi yang menunjukkan keterbukaan Tou Minahasa terhadap proses hidup yang dinamis. Maka, siapapun dia yang lahir atau mau hidup dan mati di tanah ini, dialah Tou Minahasa yang mestinya menyanyikan lagu ini dengan penuh rasa bangga (Pinontoan, 2010).
O...tempat lahirku Minahasa, Aku rindu setiap masa. Kerinduan kita, tou Minahasa baik yang masih tetap setia berpijak di tanah ini, maupun yang telah terserak (sumerar) di seluruh jagad ini adalah kepada keindahan, kesuburan dan kehidupan di Tanah ini. Sebab tanah ini adalah akar identitas kita. Zaman boleh berubah, simbol-simbol peradaban boleh boleh berganti, namun tanah ini adalah kekal sepanjang masa. Setidaknya, begitu janji kita di dalam hati. Maka, janji, karya, pemikiran dan segala gerak hidup ini adalah untuk kelestarian hidup Tanah ini. Kebudayaan Minahasa, sebagaimana makna hakiki dari kebudayaan, adalah soal kehidupan itu sendiri, kehidupan manusia dan alam sebagai tempat berpijaknya. Kehidupan yang optimis di masa depan, tentu bukan kehidupan tanpa sejarah, tanpa nilai budaya atau tanpa identitas. Kehidupan hari ini, adalah untuk kehidupan yang menjanjikan kesejahteraan di masa depan yang dapat diperolah karena setia mewarisi nilai-nilai hidup para leluluhur di masa silam. Sebab, budaya adalah dinamis, Minahasa juga demikian. Maka, menjadi orang Minahasa yang berbudaya Minahasa, adalah juga menjadi orang yang dinamis, berpikiran maju, berani menantang dan memberi isi terhadap perubahan, dan juga orang yang terbuka dan memahami kehidupan sebagai milik bersama. Maka, dari rupa-rupa kelebihan (dan juga kekurangan), macam-macam bentuk pemikiran dan karya, mestinya mengarah ke visi bersama, yaitu Tanah Minahasa yang lestari, karena dinamis dan setiap pada panggilan kehidupan bersama (Pinontoan, 2010).
Minahasa terdapat di provinsi Sulawesi Utara (SULUT) sebelah timur Indonesia dengan ibu kotanya manado. Sampai saat ini Minahasa terbagi dalam 7 kabupaten/kota yakni: Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Induk (Tondano), Tomohon, Manado, Minahasa Tenggara, dan Bitung (agustin).  Bentang alam atau sanjana (sejauh mata memandang) wilayah Minahasa berupa hutan, rawa, danau, perkampungan dan perkotaan, Gunung-gunung dan pegunungan yang terkenal antara lain Kelabat, Dua Saudara, Lokon, Masarang, Tampusu, Manimporak, Soputan, Lolombulan, Lengkoan, dan pegunungan Lembean, serta pegunungan Wulur Mahatus. Selanjutnya sungai-sungai yang mengalir di wilayah Minahasa antara lain Tondano, Ranoyapo, Ranoako dan Piogor. Sungai-sungai ini di antaranya bermuara dibeberapa danau seperti Tondano, Tombalu, Moat, dan Linow. Letak negeri Minahasa secara astronomis antara 1014’ – 1056’ LU dan 124042 –124013’ BT.  Kabupaten Minahasa berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara, Laut Maluku dan Teluk Tomini di sebelah timur, Teluk Tomini di sebelah selatan, dan Kabupaten BolaangMangondow di sebelah barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Minahasa berbatasan dengan perairan.
Kata Minahasa berasal dari kata ‘Mah-Esa’ artinya bersatu atau minahasa yang artinya menjadi satu. Pada zaman dahulu kala minahasa dikenal dengan sebutan Malesung. Tahun 650 M, minahasa terbagi menjadi Tonsea (Timur laut), Tombulu (utara), Tolour (Timur), dan Tombasian (Selatan). Dengan bertambahnya penduduk pada abad ke-15, telah tercatat adanya suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik (Geru, 1999). Penduduk Minahasa, terutama di pedesaan, umumnya mereka hidup bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering). Tanaman pokok di ladang jagung yang kadang diselingi padi ladang. Sementara itu di lokasi tertentu seperti di sekitar Danau Tondano, Pineleng, Tumpaan, dan Dimembe, penduduk menaman padi di sawah. Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) ada yang ditanami beberapa kali dan ada yang menetap, yang hanya bisa ditanami beberapa kali biasanya berada dilereng-lereng bukit atau gunung. Sementara itu tanah yang ditanami secara menetap biasanya tanah datar yang tidak banyak terkena erosi sehingga kesuburannya terjaga. Mata pencaharian lain penduduk Minahasa adalah berprofesi sebagai tibo-tibo (pedagang kecil). Mereka menjual aneka bumbu dapur, sayuran, buah-buahan, ikan, dan keperluan dapur lain. Batibo (pekerjaan berdagang) biasanya dilakukan kaum perempuan, sedangkan kaum laki-lakinya ada yang bekerja sebagai bas (tukang) dengan keahlian masing¬masing seperti bas kayu, bas mesel (tukang batu). Profesi lainnya adalah buruh tani, sopir, dan kusir bendi. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir dan sekitar Danau Tondano bermatapencaharian menangkap ikan.
Minahasa, Tou dan Tanah Adatnya, ternyata tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang statis. Ia dinamis menantang dan merespon zaman. Telah banyak fase zaman yang ia lalui. Zaman kunonya, yang oleh bangsa Barat sebut sebagai bangsa alifuru, telah meninggalkan identitas ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an. Meski, banyak di antaranya yang kini tinggal spirit serta situs-situs peradaban, misalnya waruga, rumah panggung, juga keseniannya, maengket, cakalele, mazani dan musik bambu. Spiritnya, yaitu egaliter, demokratis dan mapalus. Mulai kapan hal-hal itu menjadi ciri Minahasa, kita tidak tahu.  Fase zaman yang kemudian adalah ketika kekristenan dan peradaban Barat masuk dalam waktu yang bersamaan. Di satu pihak, perjumpaan antara ke-Minahasa-an dan kekristenan yang kebarat-baratan itu telah membawa sejumlah kemajuan, misalnya melalui dibangunya sekolah-sekolah untuk Tou Minahasa juga sejumlah nilai kekristenan yang membawa banyak pengaruh positif bagi kehidupan Tou Minahasa (Pasini, 2007)[1].
Sebagai sebuah bangsa, Minahasa dengan kerelaannya juga karena kesamaan nasib dengan bangsa-bangsa lain di Nusantara, akhirnya telah turut memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya bagi lahirnya sebuah negara berdaulat yang bernama Indonesia. Dan sejak Pancasila dan UUD 1945 ditetapkan sebagai dasar hukum di Indonesia, Minahasa akhirnya menjadi bagian dari negara Indonesia yang siap tunduk dan mengikuti segala aturan, hukum dan perundang-undangan Indonesia. Jika demikian, mestinya Minahasa, tidak harus dinilai kurang sahnya sebagai pemilik negara ini dibanding bangsa-bangsa yang lain. Paham kebangsaan Minahasa terhadap ke-Indonesia-an harus dilihat sebagai bentuk pengabdian Tou dan Tanah Adatnya terhadap Negara Indonesia dengan syarat bahwa Minahasa mempunyai identitasnya sendiri yang tidak harus dicampur baur dengan bangsa yang lain di Indonesia. Prinsip Bhineka Tunggal Ika, bahkan ikut mensahkan syarat itu. Sehingga mestinya, negara ini juga harus mempertimbangkan itu dalam menjalankan sistem pemerintahannya, khususnya soal bagaimana memberlakukan desentralisasi kekuasaan (Pasini, 2007)[2].

2.      Budaya Asli Perempuan Minahasa
Suatu Budaya dalam kegiatan pertanian, penduduk Minahasa mengenal beberapa upacara kaipian atau disebut juga peanan yang artinya mencicipi. Upacara ini dilakukan sebelum panen. Upacara lainnya adalah pungutan, berasal dari kata pungut yang berarti mengambil suatu yang ada di tanah, terkadang juga upacara ini disebut pertengahan. Pada masa lalu ungkapan syukur yang ditujukan kepada Opo Wailan atau Opo Wana Kakenturan yakni Dewa yang bertahta di atas. Setelah masuk agama Kristen nama upacara ini lebih sering disebut "pengucapan syukur". Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang diperoleh. Berkaitan dengan semangat gotong — royong tersebut, orang Minahasa mengenal istilah mapalus, sebagai suatu sistem kerja sama berdasar pada tolong menolong antar sejumlah orang atau antar kelompok untuk kepentingan bersama. Mapalus yang merupakan penjabaran dari falsafah Sitou Timou Tomou Tou ialah suatu aktivitas kehidupan masyarakat dengan sifat gorong royong (kerja-sama) yang sudah melekat pada setiap insan putra-putri masyarakat suku Minahasa. Kata dasar Mapalus ialah palus yang antara lain artinya menuangkan dan mengerahkan, sehingga Mapalus mengandung makna suatu sikap dan tindakan yang didasarkan pada kesadaran akan keharusan untuk beraktivitas dengan menghimpun (mempersatukan) daya (kekuatan dan kepandaian) setiap personil masyarakat untuk memperoleh suatu hasil yang optimal sesuai tujuan yang telah disepakati sebelumnya (Sumual, 1995). Dalam budaya mapalus inipun perempuan turut serta dalam pelaksanaannya. Biasanya perempuan yang banyak mempersiapkan acaranya. Mulai dari memasak bersama untuk makan bersama samapi pada acara penutupan. Apalagi mapalus untuk acara perkawinan, pemakaman maupun acara-acara lainnya yang dihadiri oleh banyak orang (Anonim1, 2010).
Bagi orang minahasa, perempuan  sangat dihormati dan dihargai. Dilahirkan menjadi seorang perempuan Minahasa, memberikan salah satu kebanggaan tersendiri. Sejak dulu, Perempuan sudah menjadi pemimpin bagi sesama, tulang punggung keluarga. Bisa dikatakan perempuan Minahasa menjadi penentu bagi suatu kehidupan. Begitu pentingnya peran perempuan bagi Etnis Minahasa sampai perempuan selalu dijaga dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Seperti biasanya, Perempuan Minahasa juga tetap melakukan perkerjaan rumah tangga layaknya pekerjaan seorang ibu. Hal ini menjadi suatu tanggung jawab dan bahkan bagi sekelompok orang menjadi suatu beban bagi seorang perempuan. Sebagai penentu kehidupan, Perempuan harus bisa mempertahankan identitasnya dan bertanggung jawab dengan segala apa yang dilakukan. Ada suatu pepatah yang mengatakan bahwa “biar lei skolah tinggi-tinggi, kalo namanya perempuan tetap maso dapur”. Pepatah tersebut bukan untuk menyepelehkan kaum perempuan, tetapi malah memberikan suatu konsistensi diri, dan memperkuat bahwa perempuan sebagai penentu suatu kehidupan (Geru, 1999).
Dalam adat Minahasa halnya perkawinan, Perempuan mempunyai kedudukan yang tinggi, berpengaruh dan terhormat. Dalam bahasa tombulu, perempuan memiliki nama:
-          Tetendean: Tempat bersandar / tempat bergantung
-          Kasende: teman makan, sederajat, sama
-          Si Esa: belahan sebelah, teman hidup/ bersatu
-          karia: Teman bekerja / teman hidup
Bukan hanya dalam hal perkawinan, upacara adat pun Perempuan menjadi pemimpin (kapel). Peran perempuan dalam kehidupan keluarga pun sangat menentukan dalam pengambilan keputusan, dalam sopan santun berjalan perempuan selalu berada di depan (Geru, 1999).

3.      Pengaruh Globalisasi terhadap perempuan minahasa dalam berbagai Aspek
Menurut Malcom (2001), globalisasi adalah sebuah proses, baik secara geografi, ekonomi dan poliitk saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Konsep Walters menekankan bahwa konsep dari globalisasi ini adalah merupakan perluasan budaya Barat.
Globalisasi dapat mempengaruhi perkembangan budaya dari budaya asli menjadi budaya kontemporer. Budaya kontemporer ialah budaya pada masa kini. Budaya kontemporer sangat ditentukan oleh banyak faktor, seperti latar belakang budaya pada masa lalu dan budaya dari luar pada masa kini. Status dan peran kaum perempuan Minahasa dalam pola pikir dan pola tindak masa kini pada satu pihak, merupakan pengukuhan dan transformasi atas budaya tua/asli apalagi dengan program dan pelatihan/studi gender dan teologi feminis, dan pada pihak lain mengalami distorsi karena paham demokrasi yang salah kaprah, budaya kekerasan dan lupa identitas.  Peranan wanita dalam konteks kondisi perkembangan masyarakat lalu maupun masa kini merupakan persoalan yang tidak dapat dilepaskan dari perubahan kebudayaan Minahasa dalam ‘Wanita Minahasa” (Kapahang, 2005).
Dengan pengaruh globalisasi, banyak keluarga muda sekarang ini yang lebih terbuka pada kebersamaan dalam hal menatalayanan rumah tangganya, mengasuh dan mendidik anak. Pekerjaan istri bukan seperti tukang cuci dsb, layaknya seorang pembanu rumah tangga tetapi sebagai penentu kehidupan keluarga dimana suami istri merupakan dua insan yang saling mencintai dan saling memberdayakan. Dalam aspek pendidikan juga, Perempuan dapat berkarya sesuai dengan kemampuannya. Beberapa karya tulis sudah dihasilkan oleh perempuan-perempuan minahasa yang cendekiawan. Hal ini sudah berlangsung sejak dulu dan tetap berlaku sampai sekarang. Karya tulis ini menjadi cerminan akan kualitas perempuan Minahasa di berbagai bidang pada umumnya dan khususnya dalam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Hal ini merupakan salah satu untuk mempengaruhi dan membangun paham dan prilaku hidup masyarakat dalam konteks social budayanya melalui karya tulis (Kapahang, 2005).
Keterlibatan kaum perempuan di bidang politik dan pemerintahan untuk sekarang ini, masih tergolong sedikit, namun dari segi kualitas perempuan patut dibanggakan. Keterlibatan kaum perempuan di bidang ini sudah dirintis oleh Netty Waroh (Ny. Wenas), seorang guru pada Hollands Inlandse School (HIS) berhasil menjadi anggota Dewan Kotamadya Manado yang kemudian diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad). Dibidang pemerintahan, Tinneke Waworuntu Kandow sebagai perempuan pertama yang diangkat menjadi Walikota Manado (1950-1952). Bahkan jauh sebelumnya oleh Maria Walanda Maramis (1872-1924) yang mendapat penghargaan pemerintah sebagai Pahlawan Nasional pada 20 Mei 1969. Aspek perekonomian daerah Minahasa turut ditentukan juga oleh banyak perempuan yang bukan sekedar “pencari nafkah tambahan” melainkan sungguh-sungguh mencari nafkah di dalam pengelolaan sumber daya dan dana masyarakat. Selain itu, banyak Perempuan yang menempuh studi teologi sehingga tak heran di berbagai gereja pemimpinnya adalah perempuan (Geru, 1999).
Perempuan sangat berperan sekali dalam memberantas korupsi. Hal itu diungkapkan Deputi Rektor Universitas Paramadina, Wijayanto dalam dialog Membangun Karakter Bangsa yang Anti-Korupsi di Unversitas Paramadina, Jakarta hari ini. Menurutnya, peran perempuan sebagai ibu merupakan guru dan teladan pertama bagi anak-anaknya. Wijayanto menambahkan, saat ini sebaiknya ada pelajaran khusus mengenai korupsi. Dijelaskan, pembelajaran sejak dini bagi anak-anak sangat berpengaruh membangun karakter bangsa. Sementara itu, Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bidang Fungsional dan Pendidikan Masyarakat, Asep Saefulloh mengatakan, ada sembilan nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam membangun karakter bangsa. Sembilan hal itu diantaranya, Kejujuran, Tanggung Jawab, Sederhana, Mandiri, Peduli, dan Kerja Keras. Karakter pertama untuk membangun sebuah bangsa yang anti korupsi, semua orang yang ada di Indonesia ini, memiliki yang disebut dengan kejujuran, tanggung jawab, adil, sederhana, mandiri, peduli, dan kerja keras. Itu beberapa nilai-nilai yang kita bangun supaya bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang anti korupsi”. Dikatakan, terkait dengan peran perempuan dalam memberantas korupsi, Asep Saefulloh mengatakan, meski jumlah staf wanita di KPK belum banyak, namun kaum hawa merupakan tonggak pendidik utama dalam membangun karakter seseorang (Mungky, 2009).
Walikota Jakarta Pusat, Sylviana Murni mengatakan, pembentukan karakter seseorang sangat dipengaruhi dari pendidikan dalam keluarga. Sylviana menambahkan, regulasi dan religi sangat berpengaruh dalam pendidikan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dari Bank Dunia pada tahun 1999, jumlah wanita di parlemen sangat berpengaruh dalam indeks angka korupsi. Dengan semakin banyaknya wanita di dalam pemerintahan, maka jumlah korupsi dapat ditekan (Mungky, 2009). Hal-hal inilah yang memungkinkan Perempuan Minahasa berkompetisi dalam bidang kepemerintahan (Mungky, 2009).


Daftar Pustaka
Geru, H. 1999. Pemberdayaan Perempuan Sulawesi Utara. Tomohon: LETAK
Kapahang, A. 2005. Perempuan dalam Budaya Minahasa. Jakarta: Meridian
Malcom, W. 2001. Globalization. Routledge London & New York
Mungky. 2010. Peran Perempuan dalam Pemberantasan Korupsi. (http://id.voi.co.id/tentang-kami.html)
Pinontoan, D. 2010. Oh Minahasa. (http:///ANTARA/berita/13362/oh-minahasa)


[1] Tulisan ini pernah dipubliksikan pada Harian Komentar 14 September 2006 dan menjadi salah satu artikel dalam Denni Pinontoan, “Minahasa dalam Indonesia”, (Tomohon: Pasini, 2007)
[2] Idem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar